Senin, 10 Mei 2010

ilmu hadits

BAB I
PENDAHULUAN
Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak (2). Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
       •          
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Dan mafhum dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.





BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

A. Pengertian dan faedah ilmu al-jarh wa al-ta’dil
Kata al-jarh adalah masdar dari jaraha, secara etimologi berarti luka atau cela. Sedangkan kata al-ta’dil masdar dari adalah yang secara etimologi berarti penegakan, pembersihan dan pelurusan. Sedangkan pengertian dari segi terminology adalah sebagai berikut :


Artinya : “ilmu yang membahasa tentang keburukan (jarh/cela) dan keterpujian(‘adalah) seorang perawi dengan ungkapan tertentu dan juga membahas tentang martabat atau derajat ungkapan tersebut yang bertujuan sebagai sarana nasehat dan bukan untuk melecehkan seseorang”.
Dengan demikian, al-jarh wa al-ta’dil yaitu ilmu yang membahas nilai cacat dan adilnya seorang periwayat dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Misalnya, penilaian seseorang ( ) = orang yang paling kuat dalam periwayatan, ( ) =terpercaya-terpercaya, ( ) = dapat dijadikan hujjah, terpercaya, seorang hafidz dan seterusnya sebaliknya. Nilai cacat atau keadilan seseorang periwayat dituangkan dalam berbagai buku al-jarh wa ta’dil berdasarkan hasil observasi dan pengamatan penelitian seseorang yang telah tahu persis tentang persoalan ini yang didasarkan pada fakta dan data akurat.
Faedah ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke dhabithan (kekuatan daya ingat) seorang periwayat hadits. Jika sifatnya adil dan dhabith haditsnya dapat diterima sebagai hadits yang shahih dan jika cacat tidak ada keadilan, ke dhabithan maka haditsnya tertolak.
B. Sejarah ilmu al-jarh wa a;-ta’dil
Jika diselidiki lebih lanjut ternyata ilmu al-jarh wa al-ta’dil sudah muncul sejak zaman Rasulullah, walaupun baru bersifat embrio karena belum dikodifikasikan dan belum dinyatakan sebagai jenis ilmu. Hal ini dapat kita lihat dari hadits Nabi yang menunjukan hal itu, diantaranya:
Dari ‘Aisyah ra, bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi SAW, namun ketik Beliau melihatnya beliau berkata: sungguh jelek saudara dan anak ‘Asyirah ini, tetapi manakala ia duduk beliau bermurah muka kepadanya dan melapangkanya lalu ketika itu keluar, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah: ya Rasulullah ketika engkau melihat orang itu engkau katakan ini dan itu, tetapi kemudian engkau bermurah muka dan melapangkannya? Rasulullah menjawab: ‘Aisyah pernahkah engkau melihatku berbuat fahisyi (tercela)? “sesungguhnya seburuk-buruk manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan (diabaikan) manusia karena takut akan kejahtanya”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Amr bin ‘Ash adalah orang Quraisy “maksudnya adalah Rasulullah menegaskan bahwa Amr bin ‘Ash adalah orang yang baik yang apabila meriwayatkan hadits maka patut diterima periwayatannya. Karena ungkapan quraisy berarti sebagai parameter bagi orang baik pada saat itu.
Dari kedua madlul hadits diatas, cukup untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah kebaikan dan keburukan seseorang dapat diungkap untuk kebaikan dan keabsahan dan kebaikan agama, yang salah satu sumbernya adalah hadits Nabi SAW.
Selanjutnya Ibnu Mubarakh pun menyebutkan bahwa si fulan telah berbohong, maka seorang berkata kepada Ibnu Mubarak, apakah anda berbuat ghibah? Ia menjawab diam kamu! Kalau kita tidak menjelaskan hal itu dari mana kita tahu mana yang hak dan yang bathil”.
Setelah itu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Adi dalam mukadimah kitabnya, Al-kamil fi dhu’afa al-rizal, bermunculan para ulama yang bebicara tentang periwayat hadist (rizal hadits), dikalangan sahabat seperti Abu Bakar As-sidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Salam, Ubadah bin Shamit, Annas bin Malik dan ‘Aisyah Ummul mu’minin ra (berjumlah 8 orang).
Kemudian dari kalangan tabi’in yang berbicara tentang jarh wa ta’dil seperti Said bin Musaid, Said bin Jubair, Atha bin Abi Rubah, Urwah bin Zubair bin Awwam, Abdul Rahman Al-raj, Abu Shallih Dzakwan, Hasan bin Abi Hasan Al- basyari, dan Muhammad bin Sirin serta lainya. (Brjumlah 23 orang).
Setelah itu dari kalangan tabi’it tabi’in yaitu mereka yang mendengar ungkapan tabi’in, tentang jarh wa ta’dil dan pandai seperti Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan bin Said Al-tsauri, Abdul Rahman bin Amr Al- auzai, Malik bin Annas, Hasyim bin Basyir, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Said Al-qhatan, dan lainya (berjumlah 12 orang).
Diungkapkan imam ibnu ‘Adiy Thabaqah berikutnya yaitu Ahmad bin Hanbal, Ali bin Abdullah bin Ja’far Al-madini, Yahya bin Mu’in, Abdul Rahman bin Ibrahiim Ad-dimasqy, Ishaq bin Rahawiyah dan lainya (berjumlah 11 orang).
Lalu dilanjutkan dengan thabaqah lainnya seperti Muhammad bin Isma’il Al-bukhari, Abuzar’ah Abdullah Ar-razi, Muhammad bin Idris, Abi Hatim Ar-razi, Muhammad bin Muslim bin Warih, Muhammad bin Aufa Al-hamsi dan Yazid bin Abdu Al-shamad serta lainnya (berjumlah 19 orang).
Diantara kitab-kitab yang berbicara ilmu ini adalah :
1. Thobaqot Ibnu Sa’ad Al-juhri Al-bashri terdiri dari 15 jilid
2. Tawarikh Tsalasah dan Tarikh Al-kabir oleh Al-bukhori
3. Al-jarh Wa Ta’dil karya Ibnu Hatim As-tsiqot karya Ibnu Hibban
4. Al-kamil Fi-dhuafa karya Ibnu Adi
5. Al-kamal Fi-asma Ar-rijal karya Abd Ghoni Al-maqdisi
6. Mizan Al-I’tidal karya Al-zahabi Tahdzhib Al-tadzhib karya Ibnu Hajar Al-asqolani

C. Perbedaan Dalam Mengkritk Hadist
Pada masa nabi/ sahabat
• Kesaksian langsung bisa di cek dari para sahabat.
• Bisa langsung cek kepada Nabi.
• Tidak ada pencelaan terhadap perawi.
• Belum ada keabsahan kriteria perawi secara sistematis.
• Cenderung ada kesamaan pemahaman karena bias di cros cek langsung kepada Nabi.
Setelah sahabat
• Melihat keabsahan perawi dari riwayat hidup perawi, sehingga memberikan penilaian baku atas perawi.
• Tipis kemungkinan adanya perbedaan, karena sudah ada kriteria keabsahan perawi.
• Lihat dari aspek bahasa dan sejarah.
• Ada kebebasan untuk memahami hadits dari berbagai aspek kehidupan karena permasalahan kehidupan sudah semakin komplek
D. Tingkatan Al-jarh Wa Al-ta’dil dan Lafadz-lafadznya
1. Menilai lunak atau rendah dan hal ini menunjukan yang paling ringan kejelekannya seperti timbulnya Fulanun Layyin Al-hadits fihi Tsiqol fi Haditsihi dhoif dan lain-lain.
2. Sesuatu yang ditegaskan dengan tidak ada hujjah atau yang menyerupainya seperti Dhoifun Lhu Manaqir dan lain-lain.
3. Lafad yang terang-terangan melarang haditsnya ditulis atau yang lain-lainnya seperti Dhoifun Ziddan, Fulanun Layuktabu Haditsihi.
4. Lafadz yang menunjukan tuduhan berdusta seperti Laysa Bi Tsiqoh.
5. Lafadz yang menunjukan rawi disifati berdusta seperti Fulanun Kadzab, Yakdzibu.
6. Lafadz yang menunjukan keterlaluan berdusta seperti Fulanun Akdzaba Al Nas.

Para ulama hadits telah menetapkan lafadz-lafadz ta’dil dalam beberapa martabat diantaranya :
1. Lafadz yang menunjukan shigot mubalagoh (paling puncak) atas dasar Wajan Af’ala merupakan shigot paling tinggi.
2. Lafadz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat tsiqot seperti tsiqotun tsiqotun.
3. Lafadz yang menunjukan pada satu sifat atas tsiqot tanpa penjelasan seperti tsiqot hujjah.
4. Lafadz yang menunjukan pada ta’dil tapi tanpa menunjukan adanya dhabit seperti la basa bihi.
5. Lafadz yang menunjukan dekatnya tajrih seperti fulanun saykhun.







Kesimpulan
al-jarh wa al-ta’dil yaitu ilmu yang membahas nilai cacat dan adilnya seorang periwayat dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Faedah ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke dhabithan (kekuatan daya ingat) seorang periwayat hadits. Jika sifatnya adil dan dhabith haditsnya dapat diterima sebagai hadits yang shahih dan jika cacat tidak ada keadilan, ke dhabithan maka haditsnya tertolak.
ilmu al-jarh wa al-ta’dil sudah muncul sejak zaman Rasulullah, walaupun baru bersifat embrio karena belum dikodifikasikan dan belum dinyatakan sebagai jenis ilmu.
Setelah itu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Adi dalam mukadimah kitabnya, Al-kamil fi dhu’afa al-rizal, bermunculan para ulama yang bebicara tentang periwayat hadist (rizal hadits) Kemudian dari kalangan tabi’in. Setelah itu dari kalangan tabi’it tabi’in banyak ulama yang membicarakan tentana ilmu ini.
kitab-kitab yang berbicara ilmu ini adalah :
1. Thobaqot Ibnu Sa’ad Al-juhri Al-bashri terdiri dari 15 jilid
2. Tawarikh Tsalasah dan Tarikh Al-kabir oleh Al-bukhori
3. Al-jarh Wa Ta’dil karya Ibnu Hatim As-tsiqot karya Ibnu Hibban
4. Al-kamil Fi-dhuafa karya Ibnu Adi
5. Al-kamal Fi-asma Ar-rijal karya Abd Ghoni Al-maqdisi
Mizan Al-I’tidal karya Al-zahabi Tahdzhib Al-tadzhib karya Ibnu Hajar Al-asqolani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar